Kamis, 18 Juni 2009

hanya SEBUAH AKU. 5

Menikmati kesendirian, di taman ini lah aku selalu belajar tentang banyak hal. Tentang rasa syukur dengan apa yang aku lihat. Mereka memberiku cerita yang mengalir pada kata syukur, dan mencoba mengerti akan apa itu ikhlas. Aku bukan manusia yang dapat berfikir dengan mudahnya apa yang terjadi, dan aku bukanlah manusia yang dapat merasakan kehidupan yang terasa indah dan buruknya, tapi aku lah bangku taman yang selalu mencoba melihat mereka sang manusia untuk menikmati hidupnya. Ya….walau aku tak mampu merasakan apa itu kehidupan tapi aku melihat kehidupan dari sini, dari pojokan kota di salah satu taman.
Kadang aku tak kuasa menerima ini, tapi untuk apa mengeluh, karena kata-kata ku tak mampu mengubahku menjadi seorang manusia yang mampu tersenyum, menangis, tertawa, bahkan sekedar untuk menghirup oksigen dari pohon besar yang berada di sampingku ini selalu… tapi aku masih bisa bahagia menjadi bangku taman…
Seorang pedagang asongan menghampiriku, membasuh peluh keringat yang mengalir menyusuri kening hingga lehernya, menetes dalam raut wajahnya yang lelah, menghembuskan nafasnya, mengambil topinya yang sejak tadi berpijak di kepalanya lalu topi itu ia gunakan untuk mengipasi wajahnya, yang ditiap butir air keringatnya membawa satu kisah tentang hidup dan menetes dalam kelelahan hidupnya. Memang siang ini cukup panas untuk sebuah bulan hujan di Indonesia. Lelaki baya itu, berkali-kali mengipaskan topinya pada wajahnya, ia sendirian menghampiri ku, aku lihat dagangannya masih banyak, sedangkan usianya sudahlah tidak pantas untuknya menggendong sekotak kardus yang digunakannya untuk berdagang, ada permen, rokok, tissue, hingga obat pusing.
Tak berapa lama dari itu, seorang wanita menghampiri pedagang asongan ini, dia membeli permen, dan dia juga menduduki ku hingga sekarang ada dua orang yang sepertinya akan menjadi kisah baru yang akan aku dengar. Pedagang asongan itu terlihat begitu ramah kepada wanita itu. “Lagi banyak pikiran Dek?” Tanya pedagang itu. “Iya pak, bapak udah lama jualan kayak gini?” balik Tanya wanita itu yang membalas senyuman pedagang asongan itu. “Dari dulu saya udah jualan kayak gini Dek, yaa…itung-itung buat makan saya”. “Hmmm…bapak punya anak?” Tanya wanita itu lagi. “Boro-boro anak Dek, istri aja saya gak punya, dulu sih punya tapi 5 tahun yang lalu dia meninggal ya…itu juga gara-gara saya”, ucap pedagang itu yang membuat aku dan wanita ini terkejut. “Maaf pak…bukan maksud saya…” “Gak apa-apa, saya ngerti. Seharusnya istri saya tidak meninggal cepat di gubuk kami, saat itu saya sedang mencari uang pinjaman untuk berobat istri saya ke dokter tapi semuanya terlambat, memang saya mendapatkan uang pinjaman itu dari mandor saya kerja waktu itu tapi ketika saya pulang untuk membawa istri saya, dia udah tidur dan gak bangun-bangun, saya fikir waktu itu istri saya akan bangun dan tersenyum sambil bilang klo dia udah sembuh, dan dia benar dia tidur untuk kesembuhannya yang abadi. Sedangkan anak saya hanyut waktu banjir besar dulu, dia kebawa arus dan meninggal waktu umurnya gak lebih dari 7 tahun, dan sejak itu saya hidup sendirian”, ucap pedagang asongan itu yang terus mengumbar senyum wibawanya sedangkan wanita itu memandangnya dengan penuh arti. “Bapak kok masih bisa senyum punya cerita kayak gitu, mungkin klo saya jadi bapak, saya udah masuk rumah sakit jiwa gak kuat nerima cobaan kayak gitu”, ucap wanita itu. “Sedih itu pasti, dan gak ada manusia di dunia ini yang gak sedik Dek, tapi hidup. Klo saya jatuh, saya akan bangun lagi, karena bagi saya ketika kita jatuh dan kita gak berusaha untuk bangun berarti kita gak bisa jatuh lagi”. “Maksud Bapak?”. “Iya, kita akan belajar tentang hidup ketika kita berusaha untuk bangun dari jatuh kita, Allah boleh mengambil orang-orang yang saya sayang, tapi saya yakin orang-orang yang saya sayang akan tersenyum untuk saya”. Dan wanita itu terdiam dalam pandangannya yang tak lepas dari pedagang asongan itu. Mencoba mengerti akan hidup dari raut wajah pedagang asongan yang sejak tadi bercrita padanya.
“Dulu saya fikir saya manusia yang sangat beruntung, karena memilliki orang tua yang sangat sayang saya, hidup saya bisa dibilang sangat berkecukupan, tapi sekarang semua berubah hingga saya mengetahui orang tua yang saya kenal selama 19 tahun ini ternyata bukan orang tua kandung saya, mereka bilang orang tua saya sudah meninggal saat ada bencana alam 19 tahun yang lalu”. “bukan maksud Bapak untuk sok tau, yaa…setidaknya Adek masih beruntung punya orang tua angkat yang bener-bener sayang adek, hidup tidak berkekurangan, masih banyak manusia yang ingin berteduh dari hujan saja tak bisa, menghilangkan rasa lapar saja mungkin sulit”. “Iya Bapak bener, setidaknya saya jauh lebih beruntung,” balas senyumannya. “Kita hidup di dunia jangan mencari apa yang kita gak punya, karena kita gak akan pernah tau apa yang kita punya. Begitu pun sebaliknya, liat apa yang kita punya walau itu sekecil debu…” ucap pedagang asongan itu. Lalu mereka terdiam dalam siang ini, sama-sama memikirnya apa itu hidup, mensyukuri setiap hembusan nafas yang diberikan Allah kepadanya, dan berterima kasih dengan satu persen uang yang dimilikinya.
Mereka benar, manusia terlalu sering memandangi kekurangannya dan mengeluh untuk itu, padahal disamping itu mereka memilliki apa yang mereka cari, dan mereka tak mengetahui itu karena mereka sibuk mencari tanpa melihat dalam dirinya. Tapi, semua itu akan kembali lagi pada setiap makhluk bernama manusia untuk mengerti akan suatu hal yang dimiliki nya, bukan mencari apa yang tidak dipunya nya tetapi menjaga dan mensyukuri segala apa yang di punya nya.
Lalu, pedagang asongan itu merapikan dagangannya, dan pamit pergi pada wanita yang telah menemaninya siang itu untuk mengerti akan mensyukuri hidup juga ikhlas menerima apa yang mereka miliki. Karena manusia gak akan pernah tau apa yang dia punya sebelum dia kehilangan apa yang dia punya, karena manusia seperti itu tak mampu mengerti akan arti rasa ikhlas dan syukur akan hidup…

Tidak ada komentar: